Rabu, 24 Desember 2008

MATEMATIKA Vs. “MATI-MATIAN”

Oleh : A.D. ARIESMONO,S.Pd.

Penulis, Guru Matematika yang mendapat tugas tambahan Kepala SMPN 37 Bandung, Penggiat Komunitas Peduli Pendidikan Matematika “ GM – 9 “ Cijagra Bandung, dan Ketua MGMP Matematika SMP Kota Bandung periode 2006-2008.

Matemaika bagi sebagian kecil siswa merupakan mata pelajaran yang paling digemari dan menjadi kesenangan mental yang mengasyikkan, yaitu sangat berguna untuk memahamifenomena-fenomena alam, teknik, dan berbagai peristiwa dan gejala yang terjadi di masyarakat. Tetapi, bagi sebagian besar siswa, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang amat berat dan sulit. Bagi sebagian siswa pada kelompok ke dua ini, mereka menyebut matematika dengan gaya plesetan menjadi “mati-matian”, karena mereka menganggap sulit untuk mencapai nilai cukup dan harus berjuang ekstra keras dan mati-matian. Kondisi seperti ini yang membuat mereka takut terhadap matematika dan sekaligus malas untuk mempelajarinya.

Akibat begitu besarnya persepsi negative yang muncul terhadap mata pelajaran matematika, perlu kiranya dilakukan berbagai upaya yang dapat membuat proses pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. Persepsi negative tersebut diperburuk oleh kurang kompetensinya dan kurang profesionalnya guru dalam membelajarkan siswa, karena kenyataan di lapangan selama ini masih banyak guru matematika yang memebelajarkan siswanya secara teks book oriented. Hal ini membuktikan bahwa selama ini kemerdekaan guru dan seni membelajarkannya terpasung oleh pemikiran pengarang buku teks pelajaran, karena mengalir sama persis dengan apa yang tertulis di buku teks, kering, kaku,tanpa ruh dan mebosankan siswa.
Berpijak pada hal tersebut di atas, penulis menawarkan beberapa pemikiran untuk mengurangai ketakutan siswa dan persepsi negative terhadap mata pelajaran matematika. Pertama, guru perlu mengemas pembelajaran dengan pendekatan berbasis konsep (peta konsep/concept mapping). Pendekatan ini diharapkan mampu mengeksplorasi pengetahuan prasyarat dari konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya sebagai senjata dan modal dasar, sehingga materi baru yang diajarkan tidak terkesan parsial (berdiri sendiri) atau terpisah dari materi sebelumnya, tetapi matematika sekolah menjadi bangunan yang utuh dalam harmoni kesatuan dan saling melengkapi.Misalnya, dalam membelajarkan materi pokok persamaan garis lurus dan bairisan bilangan, guru menggunakan konsep fungsi linear yang telah dipelajari sebelumnya.

Ketiga, out door mathematics atau pembelajaran matematika di luar kelas. Pembelajaran yang terjadi selama ini sering berlangsung di dalam kelas, dimana siswa kurang bebas melakukan pergerakan. Oleh karena itu, sekali-kali guru dapat memilih topic yang cocok untuk melakukan pembelajaran matematika di luar kelas sebagai bagian strategi pembelajaran untuk memotivasi siswa dengan meng optimalkan llingkungan di sekitar sekolah sebagai sumber belajar siswa. Misalnya, mengukur tinggi tiang bendera, pohon , panjang lapangan basket dll, pada topic perbandingan senilai.
Keempat, mastery learning (ketuntasan belajar).Ada keyakinan dari para filosof pendidikan yang menyatakan bahwa lebih baik siswa mempelajari sedikit materi sampai matang (tuntas), daripada belajar banyak tapi dangkal. Yang terjadi sekarang adalah alokasi waktu yang terbatas, sedangkan guru dibebani seabrek tuntutan pencapaian target kurikulum (SK dan KD) sampai daya serapnya. Padahal, kita semua tahu bahwa kemampuan dan kecepatan berpikir siswa sangat beragam. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka otonomi sekolah dan berlakunya KTSP, guru harus memberanikan diri menuntaskan siswanya dalam belajar sebelum memasuki materi berikutnya, artinya layanan remedial harus dilaksanakan oleh guru. Jika tidak demikian, maka akan terjadi miskonsepsi yang akan membelenggu siswa dalam belajar matematika.
Kelima, belajar sambil bermain. Bagi kebanyakan siswa mulai dari SD sd SMA/SMK , belajar matematika belajar matematika merupakan beban yang sangat berat dan membosankan. Satu-satunya jenjang pendidikan yang menyenangkan adalah TK. Dengan merujuk kepada pola pendekatan pembelajaran di TK, maka perlu kita sekali-kali memberikan selingan permainan dan bernyanyi atau baca puisi di tengah-tengah berlangsungnya proses pembelajaran matematika. Misalnya, memberikan kuis, teka-teki, membuat puisi matematika, menyanyi sesui dengan tema konsep matematika dll, tergantung kecerdasan dan kreativitas guru.
Keenam, Di samping kelima factor tersebut di atas, membangun hubungan positif antara sekolah dengan keluarga adalah merupakan kontribusi penting dalam membantu prestasi belajar matematika siswa di sekolah. Membangun hubungan positif ternyata memberikan makna yang cukup signifikan. Interaksi dari keduanya dapat memberikan pengaruh penting dan kuat dalam menciptakan iklim belajar.
Belajar memerlukan situasi yang menggembirakan, kenyamanan, dan ketenangan. Ketenangan dalam arti luas, meliputi ketenangan lahir maupun batin. Kondisi lingkungan yang mendukung dan menyenangkan, dan terbebas dari rasa takut, baik di lingkungan keluarga atau sekolah pada saat terjadi proses pembelajaran, akan memotivasi siswa untuk mengekspresikan segala kemampuan yang dimilikinya. Akhirnya, perlu disadari oleh semua pihak, agar siswa dapat berkembang secara optimal dalam belajar matematika, maka perlu upaya untuk mengeliminasi persepsi negative dan perasaan takut terhadap matematika, sehingga matematika itu ya matematika, bukan “mati-matian” Semoga !

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hebat pak jaki bisa buat blog